Pengujung tahun ini, tepatnya 10 November 2009, diwarnai dengan kehebohan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ratusan orang ke rumah sakit dan delapan warga meninggal bertepatan dengan pengobatan massal filariasis. Peristiwa itu sekaligus membuka mata akan kembalinya cengkeraman penyakit-penyakit lama.
Pengobatan itu sendiri dalam rangka eliminasi filariasis. Prevalensi mikrofilaria di Indonesia 19 persen. Prevalensi penyakit itu sempat turun dari 13,3 persen pada tahun 1970 menjadi 3,29 persen pada 1987.
Selain penyakit itu, berbagai penyakit infeksi lama lainnya khas negara berkembang masih tetap akan menjadi musuh pembangunan kesehatan. Penyakit zoonosis klasik yang ditularkan dari hewan ke manusia seperti rabies, misalnya, masih sulit dikendalikan. Bahkan, belakangan kasus rabies bermunculan di daerah yang semula bebas historis dari penyakit itu, sebut saja Bali.
Penyakit ini sangat meresahkan mengingat angka kematiannya 100 persen jika tidak ditangani. Secara keseluruhan, situasi penyakit rabies terakhir di Indonesia tidak terlalu menggembirakan, jumlah kasus meningkat dengan korban paling banyak anak-anak.
Infeksi klasik lainnya, seperti tuberkulosis, juga akan kian menuntut kerja keras pemerintah. Setiap tahunnya sekitar 500.000 orang menderita tuberkulosis. Seiring dengan bertambahnya orang terinfeksi HIV, jumlah penderita yang rentan terhadap penyakit penyerang paru-paru itu tentu akan meningkat. Lebih dari separuh orang dengan HIV/ AIDS terinfeksi tuberkulosis. Berbagai upaya pengobatan tanpa peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan membuat tuberkulosis seakan menjadi musuh abadi.
Infeksi HIV menjadi persoalan tersendiri. Stigma yang melekat dan masih rendahnya cakupan program di kelompok populasi kunci memperumit pengendalian penyakit tersebut.
Masih terkait memburuknya kualitas lingkungan hidup, berbagai penyakit, seperti demam berdarah dan malaria, bermunculan. Tingkat penularan malaria di Indonesia sangat tinggi. Saat ini 396 kabupaten atau 80 persen dari total jumlah kabupaten/kota termasuk daerah endemis malaria. Indonesia termasuk negara yang masih terjadi transmisi malaria.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, penduduk di daerah berisiko tertular malaria sekitar 45 persen dari total jumlah penduduk.
Berbagai infeksi lama di atas tampaknya belum akan sepenuhnya tereliminasi. Kemiskinan yang berhubungan dengan kualitas hidup masyarakat dan memburuknya lingkungan yang diperparah perubahan iklim menjadi lahan subur bagi berbagai tersebut.
Terlebih lagi penanganan yang tidak menyeluruh menyebabkan penyelesaian masalah kesehatan terkesan tambal sulam. Penyakit seperti filariasis, rabies, dan demam berdarah, misalnya, tidak cukup sekadar menyembuhkan penderita, melainkan pula perlu penelitian dan pengendalian terhadap vektor.
Perbaikan kualitas lingkungan tempat tinggal, sosialisasi masalah kesehatan, dan pemberdayaan komunitas juga menjadi kata kunci. Padahal, ujung tombak upaya promotif dan preventif tersebut, seperti puskesmas, perannya malah kian luntur.
Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Adi Sasongko, dalam sebuah wawancara terkait kasus filariasis berkomentar, pemberantasan penyakit menular membutuhkan sinergi dengan pemerintah daerah, komunitas, dan lintas departemen. Justru pada poin-poin tersebut pemerintah masih lemah.
Multibeban
Tantangan pembangunan kesehatan ke depan semakin diperberat dengan kehadiran berbagai infeksi baru seperti influenza H5N1 (flu burung) dan influenza A-H1N1. Kian tingginya mobilitas penduduk dunia dan kestrategisan wilayah geografis membuat Indonesia rentan terhadap pandemi tersebut. Indonesia suka tak suka harus terlibat dalam kerja sama internasional dan ikut dalam upaya global dalam menghadapi pandemi tersebut.
Beban tambahan lainnya ialah perubahan penyakit akibat pola hidup. Perubahan pola makan, aktivitas, kian tingginya stres, dan polusi lingkungan hidup yang merupakan bagian semakin urbannya kehidupan warga ikut berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Berbagai penyakit akibat gaya hidup tidak sehat, mulai dari hipertensi, stroke, jantung, diabetes, hingga kanker, yang sudah lebih dahulu menjadi persoalan di negara maju, kini menjadi masalah Indonesia.
Dalam sebuah wawancara, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Ascobat Gani, Jumat (16/10), mengatakan, perubahan pola penyakit itu perlu diikuti dengan perubahan infrastruktur, seperti ketersediaan tenaga dan sarana. Kabar buruknya, infrastruktur kesehatan dan ketersediaan tenaga kesehatan masih merupakan pergulatan baik dalam jumlah maupun distribusinya dalam pembangunan kesehatan.
Menangani berbagai beban tersebut, program yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif secara pararel sangat penting. Kelalaian mengendalikan penyakit sejak awal akan dibayar dengan tingginya biaya kesehatan serta rendahnya produktivitas masyarakat.
Pengendalian penyakit dan perbaikan kualitas kesehatan masyarakat dapat terwujud jika pembangunan kesehatan berlandaskan paradigma investasi sumber daya manusia.
”Paradigma pembangunan kesehatan harus diubah dari pemberantasan penyakit kepada investasi sumber daya manusia,” ujar Ascobat.
Sekitar 200 juta penduduk Indonesia dapat menjadi manusia sakit tidak berdaya atau sebaliknya, individu sehat yang aktif membangun negaranya.
Selasa, 22 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar